Friday 29 August 2014

Wae Rebo, Tanah Impian Warisan Leluhur yang Masih Bertahan

Kami bergegas turun meninggalkan pos 3 menuju dataran dengan rumput hijau yang dikeliling 7 Mbaru Niang. Akhirnya... Setelah perjalanan panjang selama 4 jam yang penuh peluh dan melelahkan (baca disini), kami tiba di tanah yang selama ini menjadi impian saya untuk bisa mengunjunginya. Kini mimpi itu menjadi nyata, padahal saat kami sudah tiba di Flores, kami belum memutuskan untuk mengunjungi kampung Wae Rebo ini.
Saya begitu takjub melihat bangunan peninggalan leluhur Wae Rebo yang sudah berusia seribu tahun lebih namun masih terus dipertahankan dan tetap berdiri kokoh diantara pegunungan yang mengelilinginya. Pantaslah bila Mbaru Niang ini mendapatkan penghargaan tertinggi dalam bidang pelestarian warisan budaya yaitu penghargaan dari UNESCO Asia-Pacific Awards tahun 2012.
Rumah kerucut dengan struktur kayu dan bambu dengan atap dari ijuk dan ilalang ini memiliki ketinggian antara 10 m dan 15 m yang terdiri dari 5 tingkatan dengan lantai dasar atau tingkatan pertama sebagai ruang tempat aktifitas sehari-hari sedangkan tingkatan berikutnya adalah sebagai tempat penyimpanan bahan makanan, kayu bakar, perlengkapan upacara dan lainnya.
Jajaran Mbaru Niang di hamparan rumput hijau


"Aku pulaaanngg.. Aku pulaangg..." teriak Iqbal saat memasuki halaman Kampung Waerebo.
Kenapa Iqbal teriak "aku pulang" bukannya "aku datang"? Kali ini adalah kedua kalianya ia hadir disini. Siapa saja yang pernah sampai ke Wae Rebo dan diterima dalam upacara penyambuatan, mereka sudah dianggap sebagai anak Wae Rebo.

Pak Vitalis mengajak kami masuk ke rumah utama yang lebih besar dari 6 Mbaru Niang lainnnya. Iqbal mengingatkan kami agar jangan mengambil gambar sebelum kami diterima secara adat, padahal sebenarnya saya sudah gatal ingin mengangkat kamera untuk mengambil beberapa gambar.
Di dalam Mbaru Niang, kami disambut dengan upacara adat sederhana yang dipimpin oleh Pak Rofinus dan Pak Rafael selaku tetua adat. Upacara ini sebagai tanda penerimaan dan permohonan ijin kepada para leluhur mereka atas kedatangan kami agar selama kami disini tidak mendapat gangguan. Dengan upacara ini juga berarti kami sudah dianggap sebagai anak kampung Wae Rebo.

Pak Rofinus, tetua adat Wae Rebo
Pak Martinus, guide yang kebetulan saat itu juga mengantarkan seorang tamu dari Jakarta mendampingi kami dan menjelaksan maksud kedatangan kami kepada tetua adat. Mengawali upacara tersebut, kami diceritakan asal muasal berdirinya kampung Waerebo dimana leluhur mereka berasal dari Minangkabau yang kemudian tiba dan kemudian menetap di daratan Flores. Mereka beberapa kali berpindah-pindah tempat bermukim sampai pada suatu malam leluhur mereka mendapat pesan melalui mipi untuk mencari tempat dimana terdapat mata air dan sungai yang akan menjadi tempat terakhir untuk mereka bermukim. Berdasarkan mimpi itulah akhirnya mereka menemukan tempat ini yang diyakini sebagai jawaban atas petunjuk dalam mimpi tersebut. Sedangkan untuk nama Wae Rebo sendiri tidak berarti apa-apa atau bukan berasala dari kata dalam bahasa lokal mereka, nama Wae Rebo itu merupakan nama yang disebutkan dalam mimpi tersebut.
Pak Martinus meminta kami menyerahkan uang seiklasnya sebagai tanda penghormatan, kemudian tetua adat menyerahkan ayam kepada kami sebagai simbol dimana kami sudah diterima dan sudah mendapat restu dari leluhur mereka. Upacara ini dilakukan dalam bahasa lokal yang kemudian diterjmahan dalam bahasa Indonesia oleh Pak Martinus.
Dengan berakhirnya upacara sederhana tersebut, kami sudah dianggap bagian dari mereka yaitu anak kampung Wae Rebo.
Para wanita memasak untuk tamu yang datang
Usai upacara penerimaan, kami masuk salah satu rumah kerucut yang memang diperuntukan untuk para tamu yang datang. Dalam Mbaru Niang ini sudah disiapkan tikar dan bantal yang berjajar melingkar mengikuti bentuk ruangan.
Di belakang terdapat dapur yang juga berbentuk kecut tapi lebih kecil dari bangunan utama. Disini para wanita sibuk menyiapkan makan siang untuk tamu yang datang. Perabot dapur semuanya masih serba sederhana, kompor berupa tungku batu dan bahan bakarnya masih menggunakan kayu.
Asap dari tungku membuat mata saya perih, namun tidak bagi mereka yang sudah terbiasa dengan kondisi tersebut. Keramaahan mereka nampak sekali dimana senyum selalu mengembang di bibir mereka, tidak sedikitpun mereka nampak risih dengan kehadiran kami di dapur yang sibuk mengambil gambar.
Makan siang akhirnya siap dihidangkan, saat itu satu rombongan tamu asing hadir dan ikut makan siang bersama kami. Hidangan sederhanya berupa nasi putih, sayur pepaya, dan kerupuk menjadi santapan nikmat mengisi perut kami yang sudah lapar. 
Akhirnya waktunya makan siang tiba
Makan bersama tetua adat dan tamu asing
Hawa terasa begitu sejuk bahkan dingin, kabut tipis sesekali melintas rendah menyelimuti jajaran Mbaru niang.
Tidak ada aktivitas mencolok siang itu. Anak-anak bermain dan tamu asing mencoba ikut berbaur bersama anak-anak tersebut. Mungkin anak-anak disini telah terbiasa dengan kondisi dimana setiap hari selalu ada saja tamu yang datang ke kampung mereka sehingga begitu mudahnya suasana cair dengan tamu asing yang mencoba ikut berbaur. Kami juga ikut berbaur mengajak mereka bermain dan foto bersama.
Tamu asing bermain bersama anak-anak Wae rebo
:))
Foto bersama anak-anak Wae Rebo
Bersama adik
Di bawah kolong Mbaru Niang, beberapa wanita sibuk membuat kain tenun. Bertenun masih dilakukan dengan cara tradisional, dengan alat tenun dari kayu. Hasil tenunan ini selain untuk mereka gunakan sendiri juga untuk dijual kepada para tamu yang berkunjung sebagai souvenir. Untuk menyelesaikan satu kain tenun ukuran sedang membutuhkan waktu sampai 3 bulan.
Proses menenun dilakukan di bawah kolong Mabru Niang
Hasil tenunan yang dijual sebagai souvenir
Bersama cucu
Kopi panas disuguhkan menemani obrolan santai dengan tetua adat dan tamu yang lain. Kopi adalah hasil kebun abdalan yang banyak ditanam di sekitar kampung Wae Rebo. Kopi panas dengan aroma dan rasa yang nikmat menghangatkan tubuh dari hawa dingin di luar. 
Kami sempat bingung apakah akan langsung pulang hari itu juga atau akan bermalam disini, namun karena besok masih ada beberapa lokasi yang akan kami singgahi akhirnya kami putuskan untuk pulang hari itu juga. 
Bagi tamu yang bermalam disini wajib membayar sebesar Rp 250.000 per malam untuk tiap orang sedangkan bagi yang tidak bermalam hanya dikenakan Rp 100.000 per orangnya. Uang tersebut digunakan untuk keperluam makan dan minum selama disana dan sisanya tentunya digunakan untuk keperluan kampung lainnya semisal untuk perawatan Mbaru Niang.
Ngopi bersama
Menunggu hujan reda bersama wisatawan asing
Anak-anak bercanda dengan wisatawan asing
Hujan turun tidak lebat
Dari balik jendela
Kami harus menunggu hujan reda untuk beranjak pulang. Rintik hujan yang turun memang tidak lebat jadi kami masih bisa duduk-duduk berteduh di bawah atap Mbaru Niang sambil bercengkarama dengan turis asing. 
Setelah hujan reda, kami beranjak meninggalkan kampung Wae Rebo. Di perumahan depan kampung kami menemui ibu-ibu yang sedang menumbuk biji kopi. Disini kami mampir untuk memberikan beberapa kaos sebagai program CSR dari Adira. 

Wae Rebo merupakan satu bentuk kekuatan tradisi dalam menjaga warisan leluhur mereka yang tak lekang oleh waktu. Disini kita akan menemukan keunikan Mbaru Niang, penghormatan terhadap leluhur, keramahan penduduknya, kenikmatan kopinya, juga kepolosan anak-anak disana. 
Saya berharap suatu saat bisa kembali kesni, untuk bisa menikmati dinginnya malam dan hangatnya mentari pagi di kampung Wae Rebo yang unik ini.
Menyerahkan kaos kepada penduduk
Formasi lengkap Tim Ekspedisi Flores Adira Faces of Indonesia yang mengunjungi Wae rebo (Astari, A. Mey, Iqbal, saya)



* Tulisan ini adalah sebagian dari catatan perjalanan dalam Ekspedisi Ubek Negeri-Copa de Flores bersama Adira Faces of Indonesia 14-19 Maret 2014.

Related Posts:

4 comments:

  1. Lagi mikir 4 jam jalan kaki, kayak ranu pane ke ranu kumbolo nich. Padahal niat banget tahun depan mau kesini jd mikir ulang ihik ihik

    ReplyDelete
  2. Udah,,, gak usah mikir ulang, kalo dipikir2 memang berat tapi kalo udah dijalani ya tetep berat sih.. hahahaa..
    Jangan sampe dibatalin mas, nanti nyesel..

    ReplyDelete
  3. Alamak bagus bener bangunannya ...
    Untuk mencapai kesana lumayan juga perjuangannya ...
    Tapi sangat sepadan dengan keindahan dan keunikannya

    ReplyDelete
    Replies
    1. bener bgt.. apa yang kita dapatkan disana sepadan bahkan mungkin terbayar lebih dengan keindahan dan keunikannya serta keramahan warganya.. :)

      Delete