Goncangan saat melintasi jalan yang rusak sesekali membangunkan saya dari tidur di dalam mobil yang sesak berisi 6 orang dan barang-barang. Saat mengarahkan pandangan keluar mobil, yang terlihat hanya gelap entah kami sedang melintas di perbukitan atau di tepi pantai larut malam itu. Perjalanan panjang dan melelahkan ini dimulai sejak subuh sebelum surya menyapa, berawal dari Maumere setelah beberapa kali mampir menyambangi tempat-tempat yang ada dalam travel plan kami. Waerebo sendiri sebenarnya tidak ada dalam travel plan kami dalam ekspediri jelajah Flores selama 5 hari ini, namun travel plan mendadak berubah tak lama setelah kami mendarat di Maumere.
![]() |
Kemegahan Kampung Waerebo diantara pegunungan |
Sekita pukul 3 dini hari kami tiba di desa Denge, desa terakhir yang masih bisa ditempuh dengan kendaraan untuk menuju Waerebo. Disini kami akan menemui Bapak Vitalis yang akan kami minta bantuannya untuk menjadi guide kami menuju Waerebo. Iqbal yang sebelumnya pernah kemari sempat kebingunang mengingat yang mana rumah Pak Vitalis karena model rumah disini hampir sama. Dari salah satu rumah ada bapak yang keluar, mungkin karena suara kami yang berisik di pagi buta mebangunkannya. Bapak tadi kemudian mengantar kami ke rumah Pak Vitalis. Kami diterima di ruang bagian depan rumah yang berdinding bambu dan beralaskan tanah, kami dipersilahkan duduk di atas kasur bambu beralaskan tikar yang ada disudut ruangan. Kopi dan teh hangat menemani perbincangan ringan kami di rungan yang redup dengan penerangan lampu emergency.
![]() |
Sunrise di Desa Denge pagi itu begitu indah |
Dari belakang terdengar suara perabot dapur, rupanya istri Pak Vitalis sedangn sibuk mempersiapkan hidangan untuk sarapan kami. Tak lama berselang, nasi panas, sayur bening dan mie goreng tersaji di ruangang. Rasanya terlalu pagi untuk sarapan, tapi karena perut lapar dan mengejar waktu sebelum terik untuk bisa sampai ke Waerebo, sarapan sederhana itu segera kami santap.
![]() |
Sarapan bersama di rumah Pak Vitalis |
Selesai sarapan kami langsung berangkat. Pak Vitalis mengajak anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Dari rumah Pak Vitalis kami masih bisa mengunakan mobil sampai ke ujung desa dekat bangunan SD, selanjutnya perjalanan hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki.
Awal perjalanan merupakan trek tanah agak basah akibat hujan hari sebelumnya. Kondisi tanah yg lengket membuat langkah terasa berat karena tanah yang menempel pada alas kaki kami semakin lama semakin menebal. Sesekali kami harus berhenti membersihkan tanah yang menempel di alas kaki kami agar langkah menjadi lebih ringan.
Awal perjalanan merupakan trek tanah agak basah akibat hujan hari sebelumnya. Kondisi tanah yg lengket membuat langkah terasa berat karena tanah yang menempel pada alas kaki kami semakin lama semakin menebal. Sesekali kami harus berhenti membersihkan tanah yang menempel di alas kaki kami agar langkah menjadi lebih ringan.
Perjlanan sampai ke pos pertama terbilang bisa dibilang standart dan kami tempuh sekitar 1 jam, cukup buat pemanasan sebelum memasuki trek selanjutnya yang berat. Di pos pertama kami beristriharat di sungai kecil yang airnya begitu jernih dan segar. Kami mengisi botol-botol minuman yang sudah kosong di sungai ini untuk bekal kami melanjutkan perjalanan.
![]() |
Istirahat sejenak di pos pertama di tepi sungai yang jernih |
Selepas pos pertama, trek mulai terasa berat, berupa jalan setapak menanjak dan licin, menembus hutan di lereng gunung dengan vegetasi pohon-pohon besar yang tumbuh rapat. Dibeberapa titik kami harus extra hati-hati kerena melenceng sedikit saja langkah kami, maka jurang terjal siap menelan kami. Selepas pos pertama sudah terpasang papan yang menunjukkan sisa jarak yang harus kami tempuh untuk sampai ke Waerebo yang dipasang setiap jarak 100 meter. Melihat angka-angka pada papan kecil tersebut rasanya sedikit membuat pikiran menerawang betapa masih jauhnya jarak yang harus kami tempuh. Langkah terus kami pacu, kadang melambat, kadang juga sedikit kami percepat. Sesekali kami harus berhenti beristrihat minum dan mengatur nafas untuk sedikit memberi kekuatan melanjutkan kemabali perjalanan.
Keringat bercucuran membasahi kaos yang saya gunakan, perjalanan yang cukup menguras tenanga membuat saya malas bengeluarkan kamera untuk mengambil gambar dalam perjalanan. Hanya pada saat beristirahat di pos peristirahatan saja saya sempat mengeluarkan kamera.
![]() |
Kabut menutup pandangan di pos kedua Poco Raoko |
![]() |
Foto bersama di pos Poco Roko (kiri ke kanan: Iqbal, A. Mey, saya, Tari dan anak Pak Vitalis) |
Sekitar satu jam dari pos pertama, kami sampai di pos 2, Poco Roko. Tadinya pikiran saya pos-pos tersebut berupa bangunan sederhana dari kayu yang bisa kami gunakan untuk sekedar berbaring atau duduk-duduk santai sambil beristirahat, ternyata pos 2 ini hanya sebuah jalan tanah di dilereng bukit terjal yang dibatasi pagar besi. Disni ternyata sinyal kadang-kadang "mampir", kami mengecek HP masing-masing berharap sinyal mampir ke HP kami. Untung-untungan sih, ada yg dapat sinyal tapi saya sendiri tidak dapat sinyal.
Dengan langkah pelan kami meninggalkan pos Poco Roko dengan trek masih seperti tadi. Melihat angka pada papan penunjuk jarak yang semakin megecil memberi semangat untuk melangkah lebih cepat selain karena kontur tanah mulai datar bahkan cenderung menurun. Tanah yang becek menjadi tempat yang disukai lintah, tanpa disadari lintah sudah menempel pada kaki kami. Rembesan air pada dinding batu membentuk air terjun mungil tempat kami membersihkan kaki dan mencari-cari apakah masih ada lintah yang menempel di kaki kami.
![]() |
Tiba di Pos ketiga |
Memasuki jalan dianatara kebun kopi menandakan pos 3 sudah mulai dekat. Selang beberapa meter lewat dari jembatan bambu, pos 3 sudah nampak. Berbeda dengan pos pertama dan kedua, pos ketiga benar-benar berupa pos yaitu bangunan kayu dengan model rumah panggung yang terbuka dengan atap kerucut. Dari sini jajaran Mbaru Niang, rumah kerucut kampung Waerebo sudah terlihat dikelilingi perbukitan hijau dan dihiasi kabut putih yang sesekali melintas beriringan menutupi jajaran Mbaru Niang yang membentuk formsi setengah lingkaran.
Beberapa langkah lagi mimpi itu menjadi nyata, mimpi menapakkan kaki di Waerebo yang sebelumnya hanyalah mimpi dan angan-angan yang rasanya sulit untuk saya capai. Tak sabar rasanya untuk bergegas beranjak dari pos terakhir ini untuk turun menginjakkan kaki di tanah datar di anatara gugusan pegunungan dengan hutan lebat yang konon merupakan tanah yang menjadi tujuan akhir leluhur mereka untuk bermukim sesuai dengan petunjuk yang mereka dapatkan dalam mimpi.
Waerebo waerebo waerebo... Tanah yang munkin menjadi impian para traveler untuk bisa mencumbunya, merasakan pesona dan keunikan Mbaru Niang dan merasa hangat sambutan warganya dengan senyum lebar tersungging di bibir yang dihiasi warna merah kapur sirih.
Waerebo waerebo waerebo... Tanah yang munkin menjadi impian para traveler untuk bisa mencumbunya, merasakan pesona dan keunikan Mbaru Niang dan merasa hangat sambutan warganya dengan senyum lebar tersungging di bibir yang dihiasi warna merah kapur sirih.
![]() | |
Tanah impian tempat bermukim warga Waerebo. |
* Tulisan ini adalah sebagian dari catatan perjalanan dalam Ekspedisi Ubek Negeri-Copa de Flores bersama Adira Faces of Indonesia 14-19 Maret 2014.
Related Posts:
Dikejar Hujan di Sawah Lodok, Sawah dengan Karakter Spiderman
Trip Seru Sebagai Indonesia Travellers Agent ke Pulau Derawan
Kampung Adat Bena, Kampung dengan Jejak Megalit di Kaki Gunung Inerie
Mas, aku penasaran ama emak bapak nya "Pak Vitalis" itu dulu pasti kasih nama nya karena lagi liat suplemen pria dewasa haha
ReplyDeleteHahaaa.. Masak iya di pedalaman gitu udah masuk suplemen pria dewasa pabrikan?? :))
DeleteKeren Banget Pemandangannya..
ReplyDeleteMAHA DAHSYAT TUHAN!
Sampe Merinding
Lebih keren lagi kalau liat langsung mas. :)
Deleteke denge naik oto kayu lebih terasa goncangannya,hehe
ReplyDeleteKalo ada kesempatan lagi boleh dicoba naik oto kayu.. Hehee
Deleteini di flores ya.....foto-fotonya mengingatkanku akan setiingan lokasi film-film legenda dari luar negri....seperti oregon....,
ReplyDeleteindonesia memang kaya akan keindahan yg luarbiasa....
keep happy blogging always..salam dari Makassar :-)
Iya mas, di Flores di Manggarai barat tepatnya.
DeleteThanks udah mampir sini bang, Indonesia memang juara soal alam dan budayanya. :)
Kalau perjalanan ke tempat impian gitu, lelah bakal langsung hilang kalau sudah sampai. Eh pertanyaanku juga sama dengan Om cumi, kok namanya Pak Vitalis ya? Agak "unik" hihi
ReplyDeleteBener mbak, lelahnya langsung hilang tp yg tinggal lapernya. Hahahaa..
DeleteBiar gak pada penasaran dgn nama Pak Vitalis, nanti kalo sy ada kesempatan kesana lagi sy tanyain deh, kalo perlu silsilah keluarganya juga sy telusuri. Hehee.. :D
Mas total perjalannya ditempuh dalam berapa jam ya? apakah harus di tunjang dengan fisik yg kuat juga? saya berencana tour the flores selama 8 hari dan terfikir untuk mampir di Waerebo. Dari blognya Mas ini keliatannya track nya cukup sulit ya? mohon pencerahannya dan terima kasih banyak.
ReplyDeleteKalau dari Desa Denge, desa terakhir yang bisa dijangkau kendaraan, perjalanan menuju Waerebo bisa ditempuh kira-kira 4 jam dengan jalan kaki. Tentunya kondisi tubuh yang fit karena medannya cukup berat. Sedangkan dari Ruteng ke Desa Denge waktu tempunhya sekitar 2 jam. Jadi total 6 jam dari Ruteng.
DeleteTerimakasih sudah mampir sini Mas/Mbak.. :)
Mas next tripnya kapan..
ReplyDeletebelum tau kapan lagi, semoga ada kesempatan untuk kesini lagi.. :)
Deletebisa dapat contactnya pak Vitalis, pengin kesana juga nich, seru dan bagus sekalii
ReplyDeletecoba hubungi ke 085339639144. semoga bisa segera ke waerebo mas.. :)
Delete